Senin, 06 April 2009

Hukum Udara n Ruang angkasa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana diketahui bahwa ruang udara nasional adalah merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di udara, dan sekaligus merupakan wilayah nasional sebagai wadah atau ruang/media, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan yuridiksinya. Indonesia sebagai negara berdaulat, memiliki kedaulatan yang penuh dan utuh terhadap ruang udara di atas wilayah NKRI, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Hal ini dinyatakan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan dan penjelasannya.

Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan RI, dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (Prohibited Area) dan kawasan udara bersifat terbatas. Selain itu, terdapat pula pelarangan lain, yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara untuk kepentingan Pertahanan dan keamanan negara.

Dalam rangka menyelenggarakan kedaulatan negara atas wilayah udara nasional, pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan Pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Sesuai dengan pasal 66 ayat 1 PP No.3 Tahun 2001, disebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area), Kawasan Udara Terbatas (Restricted Area) dan Kawasan Udara Berbahaya (Danger Area). Kawasan Udara Terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Kawasan Udara Terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut. Sedangkan Kawasan Udara Berbahaya adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara.

Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara. Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan atau kawasan udara terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Berdasarkan Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia, ditetapkan bahwa area yang menjadi area udara terlarang hanya WRP 23 Balikpapan Flare.

Namun demikian, pada kenyataannya ruang udara nasional diatur oleh aturan-aturan internasional yang tidak sesuai dengan kehendak kita sebagai negara kepulauan (Archipelagic State). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 pada pasal 53 mengatur bahwa negara kepulauan seperti Indonesia dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan. Dari ketentuan Konvensi tersebut terlihat bahwa ruang udara nasional dipecah-pecah dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, ALKI II dan ALKI III dan tanggung jawab dibagi-bagi, sehingga ruang udara yang dipecah-pecah tidak dapat dikendalikan. Sementara itu, negara maju seperti Amerika Serikat pada kenyataannya belum meratifikasi Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), padahal negara lain sudah banyak yang meretifikasi, sehingga bila Amerika Serikat melintas perairan dan wilayah udara nasional Indonesia masih berpedoman kepada aturan-aturan yang lama, seperti “Traditional Route for Navigation”. Hal ini sering membuat terjadinya benturan dimana berdasarkan aturan lama tersebut pesawat-pesawat Amerika Serikat melintas di atas rute tradisional yang mereka anggap sah dengan alasan bahwa Amerika Serikat belum meretifikasi UNCLOS 1982.

Oleh karena itu, untuk kepentingan Pertahanan dan keamanan, diperlukan peningkatan status beberapa area udara dari Restricted Area menjadi Prohibited Area, sebagai contoh WRR 1 Madiun dan WRR 11 Malang seharusnya ditingkatkan menjadi Prohibited Area.

B. Masalah Pokok

Sebarapa Besar Keterlibatan TNI AU Dalam Penegakan Kedaulatan dan Hukum di Ruang Udara Nasional Indonesia ?

BAB II

ISI

A. Peranan TNI Angkatan Udara Dalam Menjaga Kedaulatan di Udara

Sesuai dengan pasal 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Angkatan Udara bertugas antara lain ; melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang Pertahanan menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara Yuridiksi Nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara, dan melaksanakan pemberdayaan wilayah Pertahanan udara.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, TNI Angkatan Udara diberi wewenang dan tanggung jawab dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap pelanggaran di wilayah udara, termasuk kawasan udara terlarang, terbatas dan daerah berbahaya sesuai dengan tugas pokoknya. Untuk mengimplementasikan pelaksanaan tugas penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara nasional tersebut, maka dibutuhkan peran Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Karena Kohanudnas memiliki kemampuan deteksi, identifikasi dan penindakan terhadap seluruh wahana udara yang melakukan pelanggaran terhadap wilayah udara Republik Indonesia. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas tersebut, Kohanudnas melaksanakan Operasi Udara, Pertahanan baik aktif maupun pasif

.Hakekat Operasi Pertahanan Udara adalah merupakan kegiatan sebagai upaya mempertahankan kedaulatan wilayah nasional terhadap setiap ancaman yang menggunakan media udara. Kegiatan tersebut pada dasarnya dilakukan secara terpadu yang melibatkan unsur-unsur TNI maupun Sipil yang mempunyai kemampuan Hanud. Karena itu, wujud ancaman udara yang dapat muncul setiap saat mengharuskan Kohanudnas melaksanakan Operasi Pertahanan Udara secara terus menerus agar setiap ancaman yang menggunakan media udara dapat diteksi dan diantisipasi sedini mungkin. Adapun kegiatan Operasi Hanud dilaksanakan pada masa damai dan perang, di mana ancaman udara yang dihadapi akan berpengaruh terhadap penggunaan kekuatan dan pelaksanaan Kodal.

B. Konvensi Chigago 1944 dan Kedaulatan Negara

Dunia penerbangan Indonesia dalam dua pekan terakhir ini dihangatkan oleh dua "isu larangan" terbang. Isu pertama terkait larangan Uni Eropa (UE) terhadap perusahaan penerbangan Indonesia untuk terbang ke Eropa dan larangan bagi warga UE untuk terbang dengan menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan RI. Isu kedua terkait isu pelarangan terbang di sekitar Batam dan Laut China Selatan, yang kemudian dikait-kaitkan dengan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI-Singapura.

Kedua masalah itu sepintas tidak saling terkait, padahal sesungguhnya mempunyai kaitan yang sangat erat karena sama- sama berhubungan dengan pihak lain yang merupakan "komunitas" sejumlah negara. Lebih jauh lagi, masalah ini terkait dengan posisi Indonesia dalam kaitannya dengan Chicago Convention on International Civil Aviation tahun 1944, di mana Pemerintah RI pada tahun 1950 kemudian memutuskan menjadi pihak pada Konvensi itu.

Konvensi itu pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, Konvensi itu dengan panjang lebar mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer.

Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR).

Sejak Konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya.

Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya, bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara.

Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut.

C. Tindakan-Tindakan TNI Angkatan Udara Dalam Menjaga Pertahanan di Udara

Pada dasarnya pelaksanaan Operasi Pertahanan Udara terbagi dalam Operasi Pertahanan Udara Aktif, yang meliputi kegiatan :

1. Deteksi : merupakan proses pengawasan terhadap sasaran udara secara elektronis maupun visual. Proses tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti situasi udara yang terjadi pada saat itu. Dengan mengetahui data sasaran udara, dapat ditentukan lintasan, arah dan kecepatannya untuk selanjutnya dapat ditentukan sasaran tersebut merupakan ancaman udara atau bukan. Diteksi dapat dilaksanakan dengan cara elektronis dan visual.

2. Identifikasi : merupakan proses penentuan klasifikasi setiap sasaran udara kawan, sasaran udara tidak dikenal atau sasaran udara musuh. Dari hasil analisa data sasaran udara dapat ditentukan karakternya dan selanjutnya dapat ditentukan penggunaan Sistem Hanud yang tepat untuk mengatasi dan menanggulangi sasaran udara. Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan cara elektronis, korelasi dan visual

3. Penindakan : merupakan tindak lanjut dari kegiatan identifikasi yang dilakukan oleh pesawat tempur sergap untuk membayang-bayangi, menghalau, pemaksaan mendarat dan penghancuran. Selain itu, oleh rudal jarak sedang untuk penghancuran terhadap sasaran udara yang masuk daerah Pertahanan rudal, dan Meriam Hanud/Rudaltis untuk penghancuran terhadap setiap sasaran udara yang masuk daerah . Pertahanan

Sedangkan Operasi Pertahanan Udara Pasif, meliputi kegiatan :

1. Pemberitaan Bahaya Udara, bertujuan untuk pengamanan personel dan fasilitas terhadap serangan udara dan peningkatan kesiapan seluruh unit dalam menghadapi serangan udara. Hal ini dilaksanakan oleh unsur Hanud Pasif berdasarkan informasi dari Posekhanudnas.

2. Penanggulangan Akibat Serangan Udara, upaya ini dilakukan untuk tindakan pengamanan daerah serangan udara, penyelamatan korban manusia dan mencegah timbulnya bahaya baru sebagai akibat serangan udara.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan demikian, Operasi Pertahanan Udara pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempertahankan kedaulatan wilayah udara nasional terhadap setiap ancaman udara. Upaya tersebut dilakukan secara terpadu dengan melibatkan unsur TNI maupun Sipil yang berkemampuan Hanud dengan asas-asas operasi Hanud yang memiliki sasaran keunggulan udara dan tegaknya hukum di wilayah udara nasional. Namun demikian, pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara nasional memiliki karakteristik khusus, sehingga dibutuhkan peralatan, baik berupa Alutsista dan sistem, maupun pengawakan sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi khusus pula.

Oleh karena itu, untuk mendukung pelaksanaan tugas penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara yang sangat luas di masa mendatang, dibutuhkan Alutsista dalam jumlah dan kemampuan yang memadai untuk setiap pelaksanaan Operasi Hanud. Disamping itu, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan TNI Angkatan Udara, seharusnya Kohanudnas diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan terhadap beberapa tindak pidana yang sifatnya merupakan kejahatan terhadap Pertahanan dan keamanan di ruang udara (Defence Crime), serta penyidikan terhadap pelanggaran hak terbang di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peran Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2000

C.S.T Kansil Dan Cristine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional,Djambatan, Jakarta, 2002

J. G Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi Kesepuluh, Sinar Grafika.Jakarta, 2004.

Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan

Verschoor-Diederiks, Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa; Beberapa Persamaan dan Perbedaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1991

http//www.indonesia.go.id

http//www.dephan.go.id

http://www.legalitas.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar